Kisah Anak Berbakti, Luluhkan Hati Orang Tua dengan Lemah Lembut

Ilustrasi. (Foto : detakkehidupan.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : detakkehidupan.wordpress.com)

Syahida.com – Perhatian kami tertuju pada seorang wanita belia, usianya dua puluh tahun. Ia menuturkan kisah berikut:

“Aku adalah anak semata wayang. Ayah dan ibuku membesarkan aku dengan perhatian penuh dan selalu mengabulkan segala keinginan dan permintaanku. Mula-mula, semuanya berjalan baik, hidup kami penuh kebahagiaan. Kami nikmati seluruh kesenangan dunia yang halal maupun yang haram, hingga Allah memberikanku kesempatan berharga untuk bertemu kalian. Seolah dunia menyuguhkan kepadaku kesenangan termanis yang pernah ada. Itu tidak lain adalah al-Qur’an. Dengan kata lain, di sana terdapat kenikmatan tertinggi ketika diri ini pasrah pada firman Allah dan membiarkannya masuk dan hidup dalam jiwa. Orang bisa membaca makna ayat tersebut dari perilaku dan perangaiku.”

“Dilema besar muncul antara diriku dan orangtuaku ketika keduanya memintaku mereguk lebih banyak lagi kesenangan dunia, dengan anggapan bahwa di sanalah aku menemukan kebahagiaan hidup. Suatu hari setengah dipaksa menemani kedua orangtua ke sebuah klub olahraga di mana seorang wanita bebas bergaul dengan laki-laki. Orangtua memintaku untuk mengenakan kostum olahraga yang tidak layak agar semua orang kagum memandangku dan akupun dipaksa untuk ikut berolahraga. Agaknya mereka ingin supaya ketika aku bermain dan bergerak, setiap pemuda yang hadir bisa menyaksikan tubuhku dari segala sudut. Dengan kostum olahraga yang aku kenakan, bagian tubuhku yang terbuka lebih banyak dari bagian yang tertutup.”

“Di lain kesempatan, aku diajak menemani orangtuaku menghadiri pertunjukan dalam gedung yang dipenuhi wanita-wanita berbusana minim dan kurang mengenal tata krama. Apa yang hendak aku tuturkan berikut ini, sungguh amat bertentangan dengan perintah untuk mengucapkan perkataan yang mulia pada orangtua. Mula-mula aku berteriak keras di hadapan orangtuaku, lalu aku masuk kamar dan mengunci diriku di dalam. Setiap bertemu muka, aku memperlihatkan wajah yang muram dan kusam. Aku berfikir, sikap yang aku perlihatkan kepada orangtuaku adalah puncak dari ketaatanku pada Allah dan sebuah perjuangan. Akan tetapi, ketika aku harus melangkah berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka. (QS. Al-Isra’ [17]: 23).

Keadaan pun mesti berubah; muka masam harus diubah menjadi senyum berseri. Aku membuka pintu kamarku, duduk bersanding dengan orangtua dan aku mencoba bertutur lemah lembut penuh kasih sayang kepada mereka, yang memang sengaja aku tampakkan. Bahkan aku berusaha menawarkan bantuan kepada orangtua, berbasa-basi dengan mengucapkan terimakasih atas segala yang diberikan kepadaku selama bertahun-tahun, sembari mengalihkan perhatian agar mereka tidak menyadari perubahan pada diriku.”

“Aku mulai yakin bahwa untuk mengatasi benang kusut hubunganku dengan orangtua tidak ada cara lain, kecuali dengan menerapkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas. Acapkali aku memperdengarkan ungkapan berikut pada orangtua, “Perbuatan ini diridhai Allah berdasarkan firman-Nya pada surat demikian, ayat sekian.” Tampaknya ibuku mulai menaruh perhatian pada kata-kataku, terbukti ia memintaku menuturkan ayat-ayat yang lain. Diam-diam aku membaca raut muka penyesalan pada wajah ibuku di atas perbuatan yang dilakukannya di masa lalu. Sekarang aku yakin, ibu berada di pihakku.” Ketika aku bangkit berdiri, sang ibu menyambutku dengan pelukan erat dan menghujani wajahnya dengan ciuman kasih sayang.”

Kami semua merasa amat terkesan dengan penuturan saudari kami itu. Inilah wujud kekuasaan Allah untuk mengubah hati manusia dan mencurahkan nikmat kepada hamba-Nya. Seorang sahabat wanita bangkit dari tempat duduknya dan memandang ke arah sahabat wanita yang baru saja menuturkan pengalamanannya, lalu berkata, “Mahasuci Allah! Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Sungguh bertolak belakang dengan ibuku yang tidak mau menerima masukan apa pun dariku! Apa saja yang kuupayakan selama ini untuk membujuknya, tidak membawa hasil!”

Kami bertanya, “Di mana kesabaranmu, saudariku? Engkau wajib mengerjakan apa yang diridhai Allah, engkau dituntut untuk mengamalkan ayat-ayat suci al-Qur’an dalam tutur kata dan perbuatanmu, diiringi doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena hati manusia itu berada dalam genggaman-Nya. Allah memperlakukan hati manusia sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya. Yang penting adalah jangan pernuh pupus untuk berusaha menerapkan firman-firman Allah pada dirimu dan jangan pernah berputus asa mengharap kasih sayang Allah.” Kami semua berjanji untuk mendoakannya pada tengah malam dan memohon kepada Allah Yang Mahakuasa.



Di akhir pertemuan, kita sepakat untuk melanjutkan langkah mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah; dan janganlah kamu membentak mereka.” (QS. Al-Isra [17]: 23)

Dilanjutkan dengan, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]: 23). [Syahida.com]

 Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani (Keramat Hidup: Orang Tua)

Share this post

PinIt
scroll to top