Kalau Ajal Sudah Datang, Janganlah Disesali

Ilustrasi. (Foto: salmanitb.com)

Ilustrasi. (Foto: salmanitb.com)

Syahida.com

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا لِيَجْعَلَ اللَّـهُ ذَٰلِكَ حَسْرَةً فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّـهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۗ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh”. Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 156)

Telah kita ketahui bahwa arti kufur ialah tidak mau menerima kenyataan kebenaran, walaupun orangnya masih mengakui Muslim. Maka, adalah orang-orang lemah iman mengucapkan kata yang hanya patut keluar dari mulut orang kafir atau munafik.

Setelah mereka melihat kenyataan bahwa dalam Peperangan Uhud itu banyak orang yang tewas, ataupun dalam kejadian yang lain, misalnya ada orang yang mati dalam perantauan, dalam bepergian meninggalkan kampung halamannya sendiri – entah pergi berniaga atau pergi berperang – maka si lemah iman itu berkata, “Coba kalau dia tidak pergi meninggalkan kampung halaman, atau coba kalau mereka tidak pergi ke medan perang, tentu mereka tidak akan mati atau tidak akan terbunuh.”

Perkataan seperti ini bukanlah kata yang patut keluar dari mulut Mukmin sejati. Orang Mukmin mesti mempunyai pegangan yang teguh tentang ajal. Sebagaimana disebutkan pada Surat Ali Imran ayat 145, orang tidak akan mati kalau tidak dengan izin Allah dan ketentuan mati sudah tertulis, tidak akan berubah lagi. “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”

Kalau mati sudah terjadi, baik di dalam perjalanan maupun di medan perang, ataupun di mana saja, pastilah itu membaca ajal yang telah tertulis. Tidak boleh orang berkata, “Coba dia tidak merantau dan tetap saja di kampung, tentu tidak mati,” atau, “Coba dia tidak pergi berperang, tetap saja dengan kita, tentu dia tidak akan terbunuh.”

Kata-kata seperti ini adalah kata-kata yang mengandung kufur, tidak matang kepercayaan kepada Allah. Sebab itu, dalam sambungan ayat, Allah berfirman, “Karena Allah hendak menjadikan yang demikian suatu penyesalan di hati mereka.” Atau suatu keluhan akibat iman yang kurang itu. Sebab, hal yang demikian akan selalu menjadi keluhan mereka dan menjadi penyakit. Sebab, pertahanan iman tidak ada.

Padahal Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan!” Bukan manusia, bukan karena pergi merantau atau berperang, dan bukan karena tinggal di rumah. Datang kehendak Allah supaya manusia hidup, hiduplah di dunia ini, mau tidak mau. Datang kehendak Allah mesti mati, matilah dia, entah di medan perang, entah dalam pelayaran, entah di rumahnya sendiri di kasur yang empuk.



Menyesali karena ada teman sahabat atau keluarga mati di perantauan atau mati dalam peperangan adalah karena melupakan mutlaknya hak Allah atas hamba-Nya. Hal yang sangat terlarang bagi Muslim.

“…..Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 156)

Sebab Allah selalu melihat apa yang kita kerjakan, hendaklah kita mati dalam husnul khatimah, yakni dalam penutupan yang baik. Mati di kampung halaman, mati dalam perantauan, ataupun mati di medan perang; hendaklah diisi dengan perbuatan yang diridhai Allah, yang timbul dari niat yang tulus dan ikhlas.

Malahan mati terbunuh di medan perang, asal niatnya benar-benar jihad fi sabilillah, menjadilah matinya mati syahid. Bahkan mati dalam perantauan, jauh dari famili, tetapi dalam beriman, pun mendapat mati syahid juga, sebagai juga perempuan mati bungkus (sedang mengandung) Dan kalau mati sudah datang, tidak ada lagi yang patut disesali.  [Syahida.com/ANW]

Sumber: Kitab Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, Karya: Prof. DR. Hamka, Penerbit: Gema Insani

Share this post

PinIt
scroll to top