Keharaman Menikah dengan Lelaki Pezina atau Wanita Pezina, Selama Belum Bertaubat

Ilustrasi. (Foto: wz-thf.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto: wz-thf.blogspot.com)

Syahida.com –  “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)

Jadi, orang-orang yang melakukan perbuatan ini tidak melakukannya sedangkan mereka dalam keadaan beriman, melainkan dalam kondisi psikologis yang jauh dari iman dan dari rasa keimanan. Sesudah perbuatan ini dilakukan, jiwa yang beriman tidak rela terikat dalam suatu pernikahan dengan jiwa yang telah keluar dari iman karena melakukan perbuatan yang keji tersebut, sebab jiwa yang beriman pasti menjauhi hubungan ini dan merasa jijik.

Imam Ahmad mengharamkan hubungan semacam ini antara laki-laki yang berzina dan wanita yang suci, atau antara laki-laki yang suci dan wanita yang berzina. Kecuali telah ada taubat yang mensucikan dari kotoran yang menjijikkan tersebut. Bagaimanapun, ayat ini menunjukkan keengganan watak laki-laki yang beriman untuk menikah dengan wanita yang berzina, dan keengganan watak wanita yang beriman untuk menikah dengan laki-laki yang berzina. Jauhnya kemungkinan terjadinya hubungan ini diungkapkan dengan kata hurrima yang menunjukkan arti tersebut: “Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (3) Dengan demikian, terputuslah tali yang menghubungkan antara kelompok manusia yang berlumur kotoran ini dengan masyarakat Muslim yang suci dan bersih.

Mengenai sebab turun ayat ini, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bernama Murtsid bin Abu Murtsid membawa para tawanan dari Mekkah ke Madinah.1 Ada seorang wanita pelacur di Mekkah yang bernama ‘Anaq dan wanita tersebut adalah teman Murtsid. Murtsid berjanji kepada seorang laki-laki di antara tawanan Mekkah yang dibawanya. Ia berkata, “Lalu aku tiba di dalam salah satu kebun Mekkah pada malam purnama.” Ia melanjutkan, “Kemudian ‘Anaq datang, lalu aku melihat gelapnya bayangan di bawah tembok. Setelah sampai di tempatku, ia mengenaliku dan berkata, “Apakah kamu Murtsid?”

Aku menjawab, “Ya, aku Murtsid!”

Anaq berkata, “Marhaban wa ahlan. Mari menginap di rumah kami malam ini.”

Aku berkata, “Wahai ‘Anaq, Allah mengharamkan zina.”

Lalu ia berkata, “Hai orang-orang yang berkemah, ini dia laki-laki yang membawa tawanan kalian.”



Murtsid berkata, “Lalu aku dikejar delapan orang, dan aku pun masuk kebun hingga tiba di sebuah goa, lalu aku masuk. Kemudian mereka datang dan berdiri di atas kepalaku dan kencing, sehingga kencing mereka mengenai kepalaku. Lalu Allah menutup mata mereka dariku.”

Murtsid melanjutkan, “Kemudian mereka kembali, dan aku pun kembali ke tempat temanku dan membopongnya, dan ternyata dia orang yang sangat berat, sampai akhirnya aku tiba di sebuah pohon idzkhir. Lalu aku melepaskan tali-talinya, lalu aku membawanya hingga tiba di Madinah. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikahi ‘Anaq?” Aku bertanya demikian dua kali, namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menjawab sepatah kata pun kepadaku, hingga akhirnya turun ayat: ““Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (3) Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Murtsid, laki-laki yang berzina tidak menikah kecuali dengan wanita yang berzina atau musyrik, maka janganlah kamu menikahinya.” 2

Riwayat ini menunjukkan keharaman laki-laki mukmin menikah dengan wanita yang berzina selama ia belum bertaubat, dan begitu juga wanita mukminah menikah dengan laki-laki yang berzina, selama belum bertaubat. Pendapat inilah yang dipegang Imam Ahmad, sementara ulama lain berbeda pendapat darinya. Ini adalah masalah khilafiyah yang dibahas dalam kitab-kitab fikih. Bagaimanapun, zina adalah perbuatan yang menyingkirkan pelakunya dari masyarakat Muslim dan memutus berbagai hubungan antara pelaki zina dan mereka. Ini saja sudah merupakan sanksi sosial yang menyakitkan sama seperti sanksi dera, bahkan lebih menyakitkan! [Syahida.com/ANW]

Catatan Kaki:

1 Barangkali yang dimaksud dengan tawanan di sini adalah orang-orang mukmin yang lemah dan tidak sanggup hijrah, dan ditahan oleh orang-orang musyrik di Mekkah

2 Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi dan hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Lihat: Jami’ul-Ahkam, 2/245 dan Shahih Sunan Abi Dawud, 2/386.

===

Sumber: Kitab Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al Qur’an (Jilid 8), Karya: Sayyid Quthb, Penerjemah: M.Misbah, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc., Penerbit: Robbani Press

 

Share this post

PinIt
scroll to top