Hikmah Kisah Para Pemilik Kebun: Beginilah Akibat Kesombongan Akan Nikmat Allah dan Kekikiran pada Harta

Ilustrasi. (Foto: bebeja.com)

Ilustrasi. (Foto: bebeja.com)

Syahida.com

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ ﴿١٧ وَلَا يَسْتَثْنُونَ ﴿١٨فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ ﴿١٩ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ ﴿٢٠ فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ ﴿٢١ أَنِ اغْدُوا عَلَىٰ حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ ﴿٢٢ فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ ﴿٢٣ أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ ﴿٢٤ وَغَدَوْا عَلَىٰ حَرْدٍ قَادِرِينَ﴿٢٥ فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ ﴿٢٦ بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ﴿٢٧ قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ ﴿٢٨ قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ ﴿٢٩ فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ ﴿٣٠ قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ ﴿٣١ عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ ﴿٣٢ كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ ۖوَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿٣٣

“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akanmemetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya”. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu”. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)”. Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”. Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas”. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.”  (QS. Al-Qalam: 17-33)

Kisah ini bisa jadi sudah tenar dan terkenal, akan tetapi konteks al-Qur’an menguakkan apa yang ada di balik berbagai peristiwanya, berupa tindakan Allah dan kekuasaan-Nya, juga berupa ujian dan balasan bagi sebagian hamba-Nya. Maka poin inilah yang baru dimunculkan dalam alur kisah yang diketengahkan al-Qur’an.

Setelah kita membaca semua teks dan isyarat yang terkandung di dalam kisah ini, kita merasakan bahwa obyek kisah berkisar tentang sejumlah manusia yang sederhana dan primitif, yang pola pikir, persepsi dan aktivitas mereka mirip dengan penduduk daerah pedalaman yang sederhana dan bersahaja. Barangkali tipe manusia selevel inilah yang lebih dekat dengan orang-orang yang diajak bicara dengan kisah ini, yaitu mereka yang membangkang dan ingkar kepada nikmat Allah, akan tetapi jiwa mereka tidak terlalu rumit, melainkan lebih cenderung kepada kesederhanaan dan kepolosan.

Kisah ini dipandang dari segi penuturannya menampilkan salah satu di antara seni mengetengahkan kisah versi al-Qur’an; di dalamnya terkandung unsur kejutan-kejutan yang merindukan, sebagaimana terkandung pula isyarat yang menggambarkan ketidakberdayaan upaya manusia di hadapan pengaturan Allah dan balasan tipu daya-Nya. Cara penuturannya yang demikian hidup membuat pendengar atau pembaca seakan-akan menyaksikan gambar hidup dan terbawa hanyut oleh kejadian-kejadiannya secara berturut-turut, episode demi episode. Untuk itu marilah kita coba melihatnya sebagaimana alurnya yang diketengahkan oleh al-Qur’an:

Sekarang kita berada di hadapan pemilik kebun-kebun di dunia bukan kebun di surga di alam akhirat -dan sekarang mereka kelihatan sedang merencanakan sesuatu dalam urusannya. Sesungguhnya di masa lalu orang-orang miskin mendapatkan bagian dari hasil kebun ini – sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa riwayat – yaitu saat kebun ini masih dipegang oleh pemiliknya yang baik hati lagi shaleh. Akan tetapi setelah pemilik itu tiada maka para ahli warisnya berkeinginan untuk mengambil semua hasil buah kebunnya dan tidak mau memberikan bagian yang ada kepada kaum fakir miskin. Kalau demikian marilah kita lihat bagaimana peristiwa-peristiwa itu berlangsung!

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ ﴿١٧﴾ وَلَا يَسْتَثْنُونَ ﴿١٨

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),” (17-18)



Sesungguhnya mereka telah memutuskan pendapat, bahwa mereka pasti dapat memetik hasil buah kebun mereka di pagi hari saat cuaca masih gelap, tanpa menyisakan sedikit pun bagian kaum fakir miskin. Mereka bersumpah untuk melaksanakan niat itu dan membuat kesepakatan di antara mereka untuk melakukannya, lalu mereka tidur dengan memendam kejahatan yang telah mereka tekadkan itu. Selanjutnya kita tinggalkan mereka dalam kelalaiannya atau dalam tipu daya yang mereka bawa dalam tidurnya, kemudian marilah kita lihat apa yang terjadi di belakang mereka dalam kegelapan malam, sedang mereka tidak menyadarinya. Karena sesungguhnya Allah senantiasa melek tidak pernah tidur sebagaimana mereka tidur, dan Dia merencanakan selain dari apa yang mereka rencanakan, sebagai balasan atas rencana yang mereka niatkan, karena ingkar kepada nikmat Allah, mencegah kebaikan dan kikir terhadap bagian kaum fakir miskin, yang sudah ditentukan. Sesungguhnya di sana terjadi kejutan yang berlangsung secara tersembunyi, dan terjadi gerakan lembut di kegelapan malam, saat orang-orang lelap dalam tidurnya:

فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ ﴿١٩﴾ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ ﴿٢٠

lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.” (19-20)

Marilah kita tinggalkan kebun itu dan petaka yang menimpanya untuk sementara waktu, kemudian kita lihat apa yang dilakukan oleh orang-orang yang membuat rencana jahat itu.

Sekarang mereka bangun di pagi buta sebagaimana yang mereka rencanakan, lalu sebagian dari mereka memanggil sebagian yang lain untuk melaksanakan apa yang telah mereka tekadkan:

فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ ﴿٢١﴾ أَنِ اغْدُوا عَلَىٰ حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ ﴿٢٢

lalu mereka panggil memanggil di pagi hari:Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya”. (21-22)

Sebagian dari mereka memperingatkan sebagian yang lain, sebagian dari mereka berpesan kepada sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka menyemangati sebagian yang lainnya.

Kemudian konteks al-Qur’an melanjutkan kisahnya dengan nada mengandung cemoohan terhadap sikap mereka; al-Qur’an menggambarkan mereka sedang berangkat dan berbicara berbisik-bisik dengan sembunyi-sembunyi. Hal ini menggambarkan betapa rapinya rencana mereka untuk memetik semua hasil kebunnya buat mereka sendiri tanpa memberikan barang sedikit pun yang disisihkan bagi orang-orang miskin.

فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ ﴿٢٣﴾ أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ ﴿٢٤

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu”.” (23-24)

Ilustrasi. (Foto: tips-ukm.com)

Ilustrasi. (Foto: tips-ukm.com)

Seakan-akan kita yang mendengar al-Qur’an ini atau yang membacanya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para pemilik kebun perihal apa yang telah menimpa kebun mereka. Memang benar, kita telah menyaksikan kekuasaan yang tersembunyi dan lembut menjulurkan tangannya ke kebun itu di kegelapan malam, sehingga melenyapkan semua buah yang ada padanya. Dan kita melihat seakan-akan kebun itu tidak berbuah lagi sesudah malapetaka yang tersembunyi dan menakutkan itu. Sekarang marilah kita menahan nafas untuk melihat apa yang diperbuat oleh orang-orang yang melakukan tipu daya itu.

Sesungguhnya konteks al-Qur’an tetap mengandung nada sinis terhadap mereka yang melancarkan tipu daya itu.

وَغَدَوْا عَلَىٰ حَرْدٍ قَادِرِينَ﴿٢٥

Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). “(25)

Memang benar, sesungguhnya mereka benar-benar mampu melarang dan menghalangi pemberian, setidaknya menghalangi diri mereka sendiri!

Sekarang mereka benar-benar dikejutkan. Marilah kita baca konteks selanjutnya yang bernada menghina, dan kita akan menyaksikan mereka saat mendapatkan kejutan.

فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ ﴿٢٦

Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), “ (26)

Ini bukan kebun kita karena kebun kita penuh dengan buah-buahan. Sesungguhnya kita telah mengambil jalan yang salah untuk sampai kepadanya! Akan tetapi mereka kembali untuk meyakinkan:

بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ﴿٢٧

bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)”. “(27)

Ini adalah berita yang meyakinkan!

Sekarang telah menimpa mereka kesudahan dari tipu daya dan rencana jahat mereka, yaitu kesudahan dari kesombongan dan kekikiran mereka, lalu majulah orang yang paling adil, paling berakal, dan paling baik di antara mereka; kelihatannya dia mempunyai pendapat yang berbeda dari mereka. Akan tetapi dia pun mengikuti mereka ketika mereka menentangnya, sebab dia hanya sendirian dan tidak gigih dengan kebenaran yang diutarakannya, sehingga dia terhalang pula dari rezekinya sebagaimana apa yang dialami oleh mereka. Akan tetapi dia telah berupaya mengingatkan mereka melalui nasihat dan pengarahannya:

قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ ﴿٢٨

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” “ (28)

Baru sekarang mereka mau mendengarkan nasihat itu sesudah nasi menjadi bubur:

قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ ﴿٢٩

Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”. “ (29)

Dan sebagaimana biasanya, setiap orang yang terlibat dalam suatu perseroan berlepas diri dari tanggung jawab, manakala kesudahan buruk menimpa perseroan mereka. Sekarang, mereka melakukan hal yang sama:

فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ ﴿٣٠

“Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela.” (30)

Tanah gosong di Yaman, seluas 5 hektar. Lahan ini dulu adalah perkebunan yang subur dan rindang. Al-Quran menyebutnya dengan Al Jannah, atau kebun yang rindang.

Tanah gosong di Yaman, seluas 5 hektar. Lahan ini dulu adalah perkebunan yang subur dan rindang. Al-Quran menyebutnya dengan Al Jannah, atau kebun yang rindang.

Kemudian mereka kini meninggalkan cela-mencelanya, mereka semua pada akhirnya mengakui kesalahannya di hadapan kesudahan yang buruk itu. Dengan harapan mudah-mudahan Allah mengampuni mereka dan memberi mereka ganti atas kebun mereka yang telah lenyap karena dibantai oleh kesombongan, kekikiran dan rencana jahat mereka sendiri.

قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ ﴿٣١﴾ عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ ﴿٣٢

Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas”. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.” (31-32)

Sebelum konteks al Qur’an menutup tirai panggungnya untuk mengahiri episode terakhirnya, kita mendengar kalimat yang mengiringinya:

كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ ۖوَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿٣٣

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. “ (33)

Demikianlah ujian melalui nikmat. Maka hendaklah orang-orang musyrik penduduk Makkah mengetahui:

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, “ (17)

Dan hendaklah mereka melihat apa yang terjadi di balik ujian itu, kemudian hendaklah mereka berhati-hati terhadap apa yang jauh lebih besar dari ujian di dunia dan azab dunia:

كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ ۖوَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿٣٣

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. “ (33)

Demikianlah al-Qur’an mengetengahkan kepada kaum Quraisy pengalaman dari kenyataan lingkungan ini, dan dari kisah-kisah yang telah dikenal dan menjadi buah bibir mereka. Al-Qur’an menghubungkan antara ketetapan Allah di kalangan orang-orang yang dahulu dengan ketetapan-Nya di kalangan kaum yang ada di masa mereka. Al Qur’an mengetuk hati mereka dengan memakai cara yang paling menyentuh kenyataan kehidupan mereka. Dan pada waktu yang sama al-Qur’an memberitahukan kepada kaum Mukminin, bahwa apa yang mereka lihat ada di tangan kaum musyrikin, para pembesar kaum Quraisy, berupa berbagai macam nikmat dan harta kekayaan, tiada lain merupakan ujian dari Allah SWT, yang mempunyai dampak dan akibatnya sendiri. Dan sudah menjadi sunnatullah bila Dia menguji hamba-hamba-Nya dengan nikmat, sebagaimana Dia menguji mereka dengan kesengsaraan, keduanya sama saja merupakan ujian dari Allah SWT. Adapun orang-orang yang angkuh, mencegah kebaikan lagi terpedaya oleh kesenangan yang dialaminya, maka hal itulah yang menjadi gambaran tamsil bagi kesudahan mereka:

وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. “ (33)

Adapun orang-orang yang bertakwa lagi berhati-hati maka bagi mereka surga yang penuh dengan kenikmatan di sisi Tuhan mereka:

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿٣٤

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. “ (34)

Hal ini merupakan gambaran tentang dua kesudahan yang berseberangan, sebagaimana menggambarkan pula tentang jalan dan hakikat yang saling berseberangan. Yaitu sebagaimana berseberangannya dua hal yang berlawanan karena masing-masing dari keduanya menempuh jalan yang berlainan, sehingga berbeda pula kesudahan dari jalan yang ditempuh oleh masing-masing keduanya. [Syahida.com/ANW]

==

Sumber: Kitab Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al Qur’an (Jilid 12), Karya: Sayyid Quthb, Penerjemah: M.Misbah, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc., Penerbit: Robbani Press

Share this post

PinIt
scroll to top