Misteri Tanah Gosong

Ilustrasi. (Foto: firmansyah2308.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto: firmansyah2308.wordpress.com)

Syahida.com – Sekitar 40 km dari Kota San’a Yaman, di daerah Al Jair, terdapat kawasan terbuka yang disebut dengan Ashabul Jannah atau pemilik kebun. Namun, nama tempat  ini sangat kontras dengan fakta yang terlihat. Sebuah hamparan luas yang menghitam, seperti hamparan batu hitam, tak ada tanaman yang tumbuh di kawasan ini. Kawasan inilah yang kini dikenal dengan Tanah Gosong.

Sejauh mata memandang, kawasan seluas sekitar 5 hektar ini, nyaris semuanya berwarna hitam, tak ada pepohonan yang tumbuh, hanya sedikit rumput-rumput liar yang mulai menyembul di sela-sela tanah yang terbakar ini. Kalaupun saat ini ada masyarakat yang mulai mencoba menyemai tanaman, tanah yang mereka gunakan, sebenarnya diambil dari tanah tempat lain.

Dulu, tempat ini tidak seperti yang terlihat sekarang. Lahan ini dulu adalah perkebunan yang subur dan rindang. Al Qur’an menyebutnya dengan Al-Jannah, atau kebun yang rindang. Tapi mengapa  kemudian tempat ini menjadi kawasan gersang dan tanahnya menghitam seperti batu? Ini semua akibat azab Allah SWT, lantaran sang pemilik kebun tidak menunaikan kewajibannya terhadap Allah SWT. Kebun-kebun yang rindang dan tanaman buah yang hijau, lenyap seketika. Yang tersisa hanyalah lahan gosong dan menghitam akibat terbakar.

Kisah Ashabul Jannah

Al Qur’an menuturkan kisah ini dalam Surat Al Qalam ayat 17 hingga 33. Bukan kisah pembangkangan sebuah kaum atau bangsa, tapi kisah tentang kehidupan sebuah keluarga kaya dan dermawan. Kisah orang tua sholeh yang memiliki lahan perkebunan yang luas dan sangat subur. Tanamannya sangat rindang dan asri. Sangat indah dan menyenangkan. Al Qur’an bahkan menyebutnya dengan Ardhul Jannah atau kebun yang rindang dan indah. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa keindahan, kesuburan dan betapa rindangnya kebun itu, karena Allah SWT sendiri yang menggambarkan itu semua. Perkebunan ini menghasilkan buah-buahan yang segar dan ranum. Hasil tanamannya sungguh melimpah.

Orang tua ini memiliki kebiasaan baik dan mulia. Saat panen tiba, sepertiga hasilnya digunakan untuk kebutuhan keluarganya. Sepertiga kedua diinfaqkan kepada fakir miskin. Dan sepertiga lainnya untuk modal menanam kembali. Orang tua sholeh ini sadar betul bahwa harta hanyalah titipan Allah SWT dan di dalamnya terdapat bagian orang miskin. Maka, hak orang-orang miskin, selalu ia dahulukan bahkan sebelum dirinya.

Maka setiap kali panen tiba, orang tua sholeh ini menyalakan api di Gunung Dhayim, jauh di seberang kebun, sebagai tanda untuk memanggil kaum fakir miskin agar datang ke perkebunannya untuk mengambil hak mereka. Karena posisi gunungnya tinggi dan bisa dilihat dari arah manapun, orang-orang miskin yang melihat tandaitu, berbondong-bondong mendatangi kebun orang sholeh ini. Hal ini terus dilakukan dengan perasaan suka dan syukur, sehingga tanamannya bertambah baik dan hasilnya pun semakin melimpah.

Orang tua sholeh ini memiliki lima anak. Empat diantaranya tidak suka dengan kebiasaan orang tuanya yang selalu menyisihkan hasil panen kebun untuk  fakir miskin. Mereka menganggap tindakan orangtuanya itu kebodohan. Kita yang lelah bekerja, kenapa hasilnya diberikan kepada orang lain? Maka setiap kali panen tiba, keempat anak orang tua ini selalu menggerutu dan tidak senang dengan apa yang dilakukan orangtuanya. Beda, dengan anak yang satunya lagi. Satu dari lima bersaudara ini justru bangga dan sangat senang dengan tindakan orangtuanya yang selalu memberikan hasil panennya pada fakir miskin. Bahkan ia yakin, karena hal inilah Allah SWT menambah semakin banyak hasil panennya.



Murka Allah SWT

Suatu hari sang ayah yang sholeh ini meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Maka kelima anak laki-lakinya ini mewarisi kebun yang sangat luas dan subur. Kelima anak yang menerima warisan ini pun membahas pengelolaan kebun. Empat anak yang tidak senang dengan tindakan orangtua semasa hidup, langsung menyepakati bahwa hasil panen kali ini semuanya, masuk dalam pundi-pundi keluarga. Tidak ada lagi jatah bagi fakir miskin. Sementara salah satu saudara mereka yang baik, tetap berpegang teguh pada kebiasaan orangtuanya, “Kita harus meneruskan kebiasaan baik orangtua kita agar hartanya tetap berkah dan hasilnya pun melimpah.” Maka perselisihanpun terjadi. Sampai-sampai keempat saudara yang tidak suka memberi orang fakir miskin, sepakat untuk membunuh saudara mereka yang tetap berpegang teguh pada kebiasaan orangtua mereka dulu. Saudara mereka pun menyerah, tak mampu menghadapi keempat saudaranya.

Ketika masa panen tiba, mereka mencari cara agar orang-orang miskin tidak datang ke kebun mereka untuk mengambil bagian mereka seperti kebiasaan sebelumnya. Maka mereka memutuskan untuk memanen kebun di waktu pagi buta, aat para fakir miskin masih tidur lelap. Lihatlah rencana makar mereka, yang akan dilakukan saat semua orang terlelap tidur. Tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mendengar percakapan rahasia mereka. Namun, Allah SWT Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang mereka rencanakan. Maka saat mereka tidur dan siap merencanakan untuk memanen kebun di pagi-pagi buta, malam itu Allah SWT membinasakan seluruh kebun-kebun mereka. Kebun yang sangat rindang dengan buah-buahan yang siap petik, terbakar hebat, tidak ada yang tersisa.

Ashabul Jannah di Yaman

Ashabul Jannah di Yaman

Pada pagi-pagi buta, lima bersaudara ini bangun dan segera mendatangi kebun mereka untuk panen. Namun saat sampai di kebun, mereka terkejut, tak ada tumbuhan ataupun tanaman di kebun mereka. Semua buah dan tanaman telah berubah hangus menghitam. Mereka heran apa yang terjadi. Bahkan mereka mengira kalau salah mendatangi tempat kebun mereka. Mereka akhirnya tak bisa berbuat apa-apa, menyesal, menyayangkan.

Mereka berkata, “Aduhai celaka kita, sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Qalam: 31). Begitulah, orang-orang yang menyesali kehilangan harta. Harta yang sudah di depan mata akan bisa membuat diri mereka kaya, hanya dalam sekejap, telah sirna.

Al Qur’an tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi. Namun sebuah riwayat menyebutkan, kisah ini terjadi pada umat Nabi Isa a.s. Kisah ini sangat populer di masa jahiliyah sebelum Islam. Orang-orang Quraisy Mekkah yang biasa berdagang ke Yaman, selalu melintas di kawasan ini, sehingga menjadi pelajaran bagi semua orang.

PESAN

Kisah ini merupakan peringatan bagi kita untuk selalu menyisihkan harta untuk fakir miskin dan kurang mampu. Karena dalam harta orang yang bertaqwa, ada hak fakir miskin, baik yang minta maupun yang tidak diminta. Walaupun kita telah berzakat, kita tetap dianjurkan membantu fakir miskin yang ada di sekitar kita, jika kita memang mampu. Sesungguhnya azab Allah itu bisa terjadi seketika dan kapan saja, sehingga jangan pernah merasa aman dari azab Allah SWT.

Jika ini merupakan kisah simbolik, maka kita dapat mengambil hikmah bahwa seperti kita lihat sekarang, banyak orang dan mungkin kita juga pernah berpikir, bahwa kita merasa sudah berbuat banyak dan yakin sekali bahwa akan mendapat tempat terpuji di mata Allah. Merasa sudah cukup dengan amalan -amalan yang sudah dilakukan dan berpikir di akhirat kelak akan memetik pahala hasil jerih payah kita. Padahal belum tentu demikian. Jangan tertipu. Seperti kisah para pemilik kebun yang membayangkan dapat memetik hasilnya, namun Allah memusnahkan kebun mereka karena kesalahan mereka. Merekapun tidak mendapat apa-apa dari kerja keras mereka.

Dari sini kita menyadari bahwa jangan pernah merasa cukup dengan amalan-amalan yang sudah kita lakukan. Ingatlah pesan Allah, bahwa yang terbaik itu bukan yang paling banyak amalanya, melainkan yang paling baik amalannya. [Syahida.com/ANW]

==

Sumber: Khazanah Trans7

Share this post

PinIt
scroll to top