Apa Tanda Cinta Kepada Allah ?

Ilustrasi. (alrasikh.uii.ac.id)

Ilustrasi. (alrasikh.uii.ac.id)

Syahida.com – Pada suatu hari, seorang alim bernama Fadhl al-Jauhari berdiri di tanah suci dengan menghadap kiblat. Saat itu ia sedang berihram. Ia berseru dengan suara yang sangat keras, “Wahai orang yang hancur lebur dalam muraqabah dan ma’rifat, wahai orang yang terbunuh dengan pedang-pedang kemesraan dan cinta, wahai orang yang terbakar dengan api ketakutan dan kerinduan, wahai orang yang tenggelam di lautan musyahadah! Ini adalah negeri Kekasih, lalu mana orang-orang yang mengasihi itu? Disinilah tempat rahasia kedekatan, dimanakah perindu itu? Inilah tempat kenangan, dimanakah mereka yang ingin mengenang masa lalunya? Ini adalah saat orang-orang menangis?” kemudian ia pingsan, dan setelah satu jam ia sadarkan diri, lalu berujar, “Sejak aku melihatmu di malam yang penuh rindu di hatiku. Engkau selalu ada, tak pernah menjauh. Bersemayam dalam sanubari.”

Pembawa cerita ini lalu berkata, “Aku kemudian mendekatinya dan bertanya kepadanya, ‘Wahai tuan, apa tanda cinta kepada Allah?’

Ia menjawab, ‘Bahwa para pecinta itu, ketika malam gelap, berada di sisi Allah Ta’ala dengan penuh antusias. Diantara mereka dan Dia telah terjadi keterbukaan. Mereka menyibukkan diri dengan kenikmatannya hubungan dengan Tuhan yang mereka sembah, hingga tak menghiraukan jamuan yang lezat. Kesibukan dengan-Nya memutuskan mereka dari semua makhluk. Mereka lebih memilih bermunajat kepada-Nya daripada tidur. Mereka tak mau memilih perkataan lain kecuali firman-Nya. Hal ini dikenal oleh orang yang mengenal-Nya dan orang yang mencari kebaikan kepada-Nya akan merasa senang dengan-Nya.’”

Allah Ta’ala berfirman, “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar-Rahmaan: 29)

Sang Pemurah telah melimpahkan segala pemberian kepada makhluk-Nya, maka hendak kemana orang yang durhaka itu akan berlari. Betapa seringnya Ia menjadikan orang yang dihinakan menjadi orang yang mulia. Akan tetapi betapa lalainya orang-orang yang durhaka itu dengan nasib para hamba itu, padahal diantara mereka ada yang bahagia dan ada pula yang merana.

Abu Ishaq al-Jubaili berkata, “Aku datang kepada Ali bin Abdul Hamid al Ghadhairi. Aku melihat dia sebagai hamba Allah yang paling baik ibadahnya dan paling banyak bermujahadah. Ia tak pernah menghentikan shalatnya di tengah malam dan di siang hari. Aku mencoba menunggunya hingga selesai shalat. Namun aku tidak mendapatkan peluang itu. Maka aku berkata kepadanya, ‘Kami telah meninggalkan orang tua, isteri, tanah kelahiran, dan anak-anak kami hanya untuk mendatangimu. Bisakah sekiranya engkau berhenti sejenak dan menceritakan kepada kami sebagian ilmu yang diberikan Allah kepadamu?’

Ia kemudian berkata, ‘Aku mendapatkan doa Syekh Shalih Sari as-Saqathi ra. Ketika aku datang kepadanya dan mengetuk pintu, aku mendengarnya mengucapkan dalam keadaan bermunajat, sebelum ia keluar menemuiku, “Ya Allah, siapa-siapa yang datang kepadaku hendak menyibukkan aku dari bermunajat dengan-Mu, maka sibukkan ia dengan-Mu dariku.”’

Maka aku tidak kembali dari sisinya sehingga aku menjadi senang dengan shalat dan sibuk dengan berzikir kepada Allah Ta’ala. Aku tidak lagi memusatkan perhatian kepada selainnya berkat syekh itu. Aku lihat perkataannya itu keluar dari hati yang sangat sedih, kegundahan yang terpendam, dan air mata yang bercucuran.” Semoga Allah meridhainya.



Mahasuci Zat yang merangkai hikmah-Nya diantara kelembutan-kelembutan ruhiyah dan di atas pundak benda-benda. Ia menjadikan malam dan siang bagai dua sayap amal perbuatan yang keduanya terbang menuju kefanaan, tanpa bulu dan sayap. Ruh-ruh para pecinta diberi minum dengan minuman cinta. Aduhai, sungguh nikmatnya ruh itu.

Di dalam majelis yang penuh kenikmatan itu mereka dipenuhi dengan pelayanan cinta. Mereka dihias dengan perhiasan keridhaan. Lihatlah ke alam raya, maka mereka tidak melihat selain-Nya. Mereka tidak dipersalahkan lantaran cinta mereka yang besar itu. Mata mereka tertutup oleh cahaya makrifat kepada-Nya. Maka orang-orang yang arif dari mereka berdendang dengan lisan tauhid. [Syahida.com]

Sumber : Kitab Ibnu Jauzi

Share this post

PinIt
scroll to top