Syahida.com – Setelah seharian bekerja, seorang sahabatku mengeluh, “Ya Allah, aku sangat merindukan istriku saat ini.” Sambil tersenyum, saya menimpali, “Hanya tinggal satu jam lagi, kamu akan bertemu dengannya. Aku doakan, semoga cinta kalian tetap abadi.”
Saya lalu bertanya kepadanya, “Sejak pernikahanmu 5 tahun yang lalu, aku melihat gelora cintamu masih terus berkobar dan tidak pernah padam hingga saat ini. Kalau boleh tahu, ada rahasia apa di balik itu? Perlu kamu tahu, aku selalu mendoakan kalian. Jadi, jangan menyangka aku iri pada kalian, Na’udzubillah. Aku hanya ingin tahu rahasia kelanggengan cinta kalian. Mungkin aku bisa belajar darinya.”
Sahabatku tersenyum. Matanya menerawang jauh, seakan berusaha menembus batas waktu. Lalu dia berkata, “Sahabat, kisahku tidak berbeda dengan kisah cinta kebanyakan orang. Hanya saja, kisah cintaku sedikit unik. Dulu, aku menikah secara adat. Ibukulah yang memilihkan pasangan hidup untukku. Aku memandang calon istriku sebatas tuntunan syar’i, aku ber-Istikharah, memohon petunjuk kepada Allah. Setelah hatiku mantap, aku pun memutuskan untuk menikah. Hanya dalam hitungan minggu, kami berdua akhirnya hidup di bawah satu atap. Sejak itulah aku mulai dihadapkan pada permasalahan.”
Sahabatku terdiam beberapa saat,seakan memberi kesempatan pada semua inderaku untuk menangkap penuturannya, lalu melanjutkan, “Terus terang, pada awalnya aku sama sekali tidak merasakan getaran cinta kepada istriku, seperti yang sering aku dengar dari banyak orang dan seperto yang aku dambakan. Aku tidak menemukan romantisme yang kuharapkan, yang dapat membuat jantung berdegup kencang, lidah kelu, dan wajah merona. Aku berkata dalam hati, ‘Apa mungkin aku terlalu terburu-buru memutuskan untuk menikah? Ataukah aku salah memilih pasangan hidup?’ Anehnya, ada semacam suara hati yang memerintahkanku untuk terus melangkah, suara hati itu seolah menguatkanku, bahwa orang yang ber-istikharah tidaklah menyesal dan orang yang meminta nasihat tidaklah gagal. Selama kamu berusaha, Allah pasti mewujudkan niat muliamu.
“Dalam gulungan ombak kegalauan dan kecemasan, aku berwudhu lalu shalat sunah 2 rakaat dengan harapan Allah memberikanku jalan keluar dan memadamkan api kecemasanku. Setelah itu, aku mencari tempat yang tenang, yang tidak ada seorang pun yang mengangguku. Kuraih secarik kertas dan pena. Aku mulai menulis beberapa pertanyaan, kemudian menjawabnya dengan terus terang. Pertanyaanya seperti berikut ini:
1. Apakah kriteria calon pasangan yang dulu aku cari?
Lalu aku tulis 10 kriteria utama yang aku dambakan dari calon pasangan hidupku.
2. Berapa kriteria yang ada dalam diri istriku saat ini dari 10 kriteria tersebut? Sungguh mengejutkan. Ternyata dari 10 kriteria tersebut? Sungguh mengejutkan. Ternyata dari 10 kriteria itu, ada 8 kriteria yang dimiliki istriku saat ini.
Aku merasa berasa dalam kegelapan dan seseorang mendekatiku dengan sebuah lampu. Aku dihinggapi perasaan aneh, senang bercampur penyesalan. Senang dengan kenyataan tersebut dan menyesal karena aku tidak mengetahui keistimewaan istriku itu sebelumnya. Aku memaki diriku sendiri, ‘Apa yang aku inginkan dari istriku? Istri yang sempurna?! Tentu, itu hanya ada di surga, Apakah aku ingin memberontak agar kebahagiaanku hilang dan menyiksa seorang wanita yang tidak berdosa hanya karena ia memilihku sebagai pendamping hidupnya?
-“Suami itu ibarat fotografer, Dia meminta istrinya untuk selalu tersenyum.”-
“Selama berdialog secara jujur dengan diriku sendiri selama kurang lebih 2 jam, aku mengadili diriku sendiri. Allah telah mengungkapkan banyak hal yang tidak aku ketahui. Aku kembali kepada istriku dengan penuh gelora rindu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.”
Saya bertanya kepadanya penuh perhatian, “Bagaimana sikapmu terhadap istrimu setelah itu?” Sambil tersenyum, sahabatku menjawab, “Aku dan istriku mempunyai prinsip, yang menurutku, merupakan fondasi kebahagiaan rumah tangga.”
“Aku pernah membaca sebuah buku karangan penulis Barat. Dalam buku itu dikisahkan, seorang suami berkonsultasi pada seorang psikiater, dengan keluhan dia tidak mencintai istrinya seperti dulu. Problem cinta tersebut menyebabkan sang suami terserang penyakit tumor yang membuatnya lumpuh. Kondisinya semakin parah dan hampir mengancam jiwanya. Psikiater itu berkata dengan tenang, ‘Ya, obat penyakit Anda ini sederhana.’ Dengan sangat penasaran, sang suami bertanya, ‘Apa obat itu, Pak?’
“Psikiater itu menjawab, ‘Cintailah istri Anda.’ Dia menatap psikiater dengan berang. ‘Aku menemui Anda untuk mengeluhkan cinta kami yang memudar, tetapi Anda justru menyuruhku untuk mencintai istriku. Apa gunanya aku datang padamu, Pak?’ Psikiater itu kembali berkata, ‘Karena itu, cintailah istrimu.’
“Kesabaran sang suami hampir habis. Dia berkata, ‘Jelaskan, apa maksud Anda? Atau kembalikan biaya konsultasi yang aku bayar di luar.’
“Sambil tersenyum, Psikiater itu bertanya, ‘Tolong bapak jawab, Apakah sebelumnya Anda mencintai istri Anda?’ Dia menjawab, ‘Aku sangat mencintainya.’ Psikiater itu bertanya lagi, ‘Apa yang Anda lakukan untuk membuktikan cinta itu kepada istri Anda?’ Sang suami menjawab, ‘Aku memberinya hadiah, mengajaknya makan malam di tempat yang romantis atau di tepi pantai.’
“Psikiater itu memberi saran, ‘Baiklah, aku minta Anda bersedia melakukan itu kepada istri Anda sekali lagi, selama sebulan secara terus menerus dan penuh dengan kemesraan.’
Dia menuruti saran sang psikiater. Sebulan kemudian suami itu datang menemui psikiater itu untuk mengucapkan terima kasih dan menyampaikan kabar gembira; gelora cintanya telah kembali.
“Pesan yang terkandung dalam kisah di atas menggerakkan hubungan suami-istri yang aktif. Aku telah menyalakan api cinta bukan hanya dalam hati istriku saja, tetapi juga dalam hatiku sendiri.” Sambil tertawa, saya bertanya, “Apakah maksudmu cinta itu tindakan, tidak seperti apa yang kita tonton di film atau cerita romantis, bermula dari kesan lalu janjian kemudian bertemu?”
Dengan sangat hati-hati, dia menjawab, “Kenyataan terbesar yang aku temukan dan yang membuatku bahagia selama hidup berumah-tangga adalah cinta itu tindakan, memberi maaf, dan saling memahami. Tidak berpijak pada prinsip, ‘Berilah aku, aku akan memberimu’ aau ‘satu dibalas satu’. Buka seperti itu. Cinta adalah pengabdian tanpa batas dan pengorbanan tiada henti.”
“Sampai jumpa besok. Aku sangat merindukan istri dan bidadariku. Sampai jumpa…”
-“Keindahan itu sulit dilukiskan, dan engkaulah lukisan keindahan itu.” – [Syahida.com]
Sumber : Kitab Teruntuk Sepasang Kekasih, Karim Asy-Sadzili